Keadilan Hukum Tunduk di Bawah Kaki Pinangki

 Oleh : Nurfia

Kinerja kejaksaan agung dalam membongkar praktik korupsi kian mengkhawatirkan. Pasalnya Penanganan perkara yang melibatkan anggotanya sendiri seakan berjalan ditempat. Alih-alih segera menuntaskan dan menjadi agenda prioritas. Nyatanya Kejaksaan Agung malah terlihat kompak bahu membahu mengamankan jaksa tersebut dari jerat hukum. Begitu pun dengan Pimpinan KPK juga malah sibuk untuk menyinkirkan para Pegawainya Melalui Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).  

Dilansir dari Kompas.com Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memotong hukuman Jaksa Pinangki atas kasus penerimaan suap, permufakatan jahat, dan pencucian uang dari 10 tahun menjadi empat tahun penjara.
Adapun pemotongan hukuman tersebut diputuskan majelis hakim dengan mempertimbangkan beberapa hal. Salah satunya karena sang jaksa dianggap sudah mengaku bersalah dan menyesali perbuatannya, serta merupakan seorang wanita yang harus mendapat perhatian, perlindungan, dan perlakuan secara adil.

Sejumlah pihak angkat bicara terkait vonis Mantan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung (Kejagung) tersebut  yang di sunat dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara. Salah satunya dari Akademisi fakultas hukum Universitas Andalas Feri Amsari.  Seharusnya hukuman yang dijatuhkan kepada jaksa pinangki dalam putusan tingkat banding lebih berat karena status dia sebagai aparat penegak hukum, kata Feri,  Ada keganjalan dari putusan hakim yang tidak memperberat hukuman, melainkan malah meringankan dengan mempertimbangkan status perempuan. Itu merupakan alasan yang mengada-ngada, lanjut dia, hakim banding seharusnya melihat kasus tersebut bukan kasus biasa ketika menjatuhkan vonis banding.

Pemotongan vonis akan menjadi preseden buruk bagi pemberantasan tindak pidana korupsi kedepan. Terlebih tindakan korupsi tersebut itu dilakukan oleh seorang aparat penegak hukum. Kondisi ini  sangat berbahaya bagi penegakan hukum kasus korupsi di Indonesia. Artinya majelis hakim tidak memiliki rasa krisis terhadap situasi penyimpangan yang dilakukan penegak hukum. 

*Adil Buah Demokrasi*

Kasus jaksa pinangki benar-benar telah mencederai rasa keadilan masyarakat dan menunjukan makin kuatnya mafia peradilan di Indonesia. Semakin membuktikan bahwa keadilan dalam sistem demokrasi mustahi diharapkan.

Keadilan di negeri ini tidak akan pernah terwujud ketika sistem belum berubah. Kasus Korupsi yang semakin menggurita seakan dibiarkan saja. Walaupun kita bisa menyaksikan persidangan di media dari para narapidana ternama, kita tidak akan pernah melihat aset nasional yang dicuri di ambil kembali, kita juga tidak akan pernah melihat mereka diadili atau dihukum sepantasnya karena telah menjual martabat dan kehormatan rakyat. Hukum yang menjadi pijakan saat ini tumpul keatas ketika dihadapkan dengan para penjabat Negara. 

Dalam hukum Demokrasi saat ini sering kali mengucap kata “adil”.  Dengan anggapan  keputuskan yang ditetapkan adalah pilihan terbaik untuk rakyat, dan juga menyatakan segala kebijakan itu telah berlandaskan pada keadilan.

Padahal kenyataanya, ucapan adil hanya buaian saja. Dalam aktivitasnya, keadilan cenderung dinilai secara subjektif. Bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa keadilan dalam  demokrasi di serahkan pada pandangan otak. Adil sebatas penilaian manusia semata. Walhasil unsur-unsur humanisme dapat masuk dalam kebijakan. Tidak dapat dipungkiri pula penilaian hanya didasarkan pada asas manfaat. Sehingga dalam melaksanakan keadilan pun akan dicari manfaatnya.

Pada Hakikatnya Peradilan dalam sistem Kapitalisme Demokrasi tidak lepas dari filosofi hukum yang dianutnya. Filosofi sistem hukum Demokrasi  ini bersumber pada teori “iltizam”. Teori yang menjadi pijakan hampir semua Negara Eropa. Dari teori ini, kemudian lahir hukum acara pidana, hukum Acara Perdata, dan hukum lainnya.

*Adil dalam Pandangan Islam*

Ini berbeda dengan Islam. Islam tidak mengenal teori  iltizam. Hukum Islam yang diterapkan  di tengah masyarakat juga satu. Keputusan pengadilan di dalam Islam juga bersifat mengikat, tidak bisa dibatalkan oleh siapapun, karena itu Islam tidak mengenal peradilan banding, PK, dan sebagainya. Jika islam mengenal tiga bentuk peradilan, sesungguhnya hanya  pembagian tugas dan fungsi. Karena hukum yang diterapkan hanya satu.

Jika hanya mengandalkan konsep keadilan menurut manusia, kita tak akan mendapatkan apa-apa. Jangankan pahala, ketenangan dalam bernegara pun tak akan didapatkan. Maka, satu-satunya tempat yang dapat dijadikan acuan berperilaku adil hanyalah zat Yang Mahaadil, yaitu Allah SWT. Sebab hukum Allah SWT adalah hukum yang paling baik tidak ada yang lebih baik dari hukum-Nya :
اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ ࣖ
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?

Keadilan dalam memutuskan perkara, apapun bentuknya dan siapapun yang terlibat, akan terwujud saat  Syariah Islam di terapkan. Islam mensyariatkan untuk mewujudkan keadilan secara umum di tengah-tengah masyarakat. Secara lebih khusus Islam pun mensyariatkan agar keadilan di wujudkan dalam dunia peradilan dan pengadilan suatu perkara. Islam memberikan panduan yang jika dipenuhi dalam penyelesaian suatu perkara, maka vonis yang lebih dekat pada keadilan hakiki akan bisa di wujudkan. Sebab syariah Islam yang dijadikan dasar untuk memutuskan perkara berasal dari Allah SWT.
Wallah alam bi ash-shawab
Labels:

Post a Comment

[facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.