UU Ciptaker : Produk Cacat Hukum Buatan Manusia


Oleh Eva Rahmawati 
Aktivis Muslimah

Pertama dalam sejarah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji formil Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Akan tetapi, hasil putusan perkara nomor: 91/PUU-XVIII/2020 Undang-undang tersebut menuai kritikan. (CNNIndonesia.com, 27/11/21).

Amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa UU 11/20 bertentangan dengan UUD 1945. Akan tetapi, MK memberi pemakluman inkonstitusionalitas bersyarat. Dengan memberikan tenggat waktu 2 tahun untuk pemerintah dan DPR memperbaiki pembuatan UU Ciptaker. Maka, jika dalam kurun waktu 2 tahun tidak diperbaiki, maka UU Ciptaker menjadi inkonstitusi permanen.

Sejumlah pihak berpendapat bahwa keputusan tersebut janggal, aneh, dan terkesan dipaksakan. Bagaimana mungkin UU yang inkonstitusional, pasal demi pasalnya masih berlaku? Lazimnya ketika UU disebut inkonstitusional (bertentangan dengan UUD 1945) harus ditolak?

Cacat dan Ditolak dari Awal Pembuatan

Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf menilai UU Ciptaker cacat prosedur karena dalam proses penyusunan dilakukan secara tertutup, tidak transparan, serta tidak memberikan ruang bagi partisipasi masyarakat sipil. 

Ia juga menyatakan, secara substansi UU Ciptaker memiliki banyak pasal yang bermasalah. Salah satunya adalah terdapat pasal-pasal yang menghidupkan kembali aturan yang telah dibatalkan oleh MK. (Kompas.com, 5/10/20).

Hal ini berdampak pada penolakan dari berbagai kalangan baik mahasiswa, buruh dan aktivis pergerakan. Mengingat pasal demi pasalnya lebih berpihak pada korporasi. Hak-hak rakyat diabaikan. 

Dari awal UU ini disahkan DPR pada 5 Oktober 2020 hingga kini aksi demonstrasi menolak UU tersebut masih terus digelorakan. Tidak hanya di Jakarta, aksi demonstrasi merata berlangsung di tanah air. 

Sarat Kepentingan

Gelombang penolakan yang terus bergulir terhadap UU Ciptaker bukan tanpa alasan. Jika dicermati UU Ciptaker ngotot disahkan  diduga untuk mengakumulasi kekayaan alam, sumber-sumber ekonomi kepada kapitalis.

Pengamat Ekonomi Universitas Sriwijaya (Unsri), Yan Sulistio mengatakan banyak pasal di UU Ciptaker lebih berpihak kepada perusahaan. Beberapa pasal krusial dihilangkan dari undang-undang sebelumnya, termasuk bagaimana penetapan upah.

Di Undang-Undang Cipta Kerja menghilangkan klausal upah berdasarkan kebutuhan pekerja dan tingkat inflasi di kabupaten atau kota. Selain itu, kebijakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sekaligus pesangon sangat tidak memihak pekerja. (suarasumsel.id, 6/10/20).

Dalam kondisi kesulitan menghadapi pandemi Covid 19. Rakyat hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian. Alih-alih membuat kebijakan yang menenangkan, pemerintah justru menambah beban kehidupan. Semestinya pemerintah fokus dalam mengatasi wabah. Membantu dan menjamin ketersediaan bahan pokok rakyat baik yang bersifat individu maupun publik. 

Rakyat menolak, akan tetapi UU Ciptaker tetap disahkan. Sudah hilangkan empati terhadap rakyat. Kepentingan siapa yang sebenarnya diperjuangkan? Direktur Eksekutif Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Made Leo Wiratma menduga sudah sedari awal UU Ciptaker pesanan dari sponsor. Karena kental dengan suasana politiknya. Tidak berpihak kepada rakyat.

Begitulah aturan yang dibuat manusia lebih memihak kepada siapa yang berkuasa. Alasan Omnibus Law diperlukan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi dan beragam dalih lainnya, hanya isu klasik. Sejatinya yang diperjuangkan hanya hak-hak kapitalis, sedangkan hak-hak rakyat diabaikan.

Aturan Allah SWT Membawa Keberkahan

Hukum buatan manusia sarat kepentingan dan lebih mengedepankan asas manfaat. Kesejahteraan hanya milik para kapital, sedangkan rakyat hidup dalam kesengsaraan. Bertahan dalam Sistem Kapitalisme hanya melahirkan produk hukum cacat yang mudah direvisi. Diutak-atik mengikuti selera pembuatnya. Wajar jika aturannya lebih mewakili kepentingan kekuasaan dibanding kemaslahatan rakyat.

Umat semestinya menyadari bahwa hukum buatan manusia tak layak dipertahankan. Saatnya campakkan hukum buatan manusia. Tegakkan hukum Allah SWT yang memiliki keunggulan yakni aturannya bersifat tetap dan baku. Dalam pemerintahan Islam yang berlaku syariat Islam. Legislasi UU bersumber dari Al Qur'an dan As Sunah. 

Maka, tidak akan ditemui produk hukum yang disesuaikan dengan kepentingan. Kehidupan berjalan sesuai dengan apa-apa yang telah ditetapkan Al Khaliq Al Mudabbir. Hasilnya kemaslahatan umat diutamakan, sehingga keberkahan dirasakan oleh seluruh rakyat.

Wallahu a'lam bishshowab.

Labels:

Post a Comment

[facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.